PSIKOLOGI AGAMA
PENGARUH PENDIDIKAN
TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Dosen Pengampu :
M. Badarudin, M.Pd.I
Di Susun Oleh :
Ahmad Syaifudin Zuhri (1282021)
Kelas : E
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
JURAI SIWO METRO
TAHUN
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim,
puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Psikologi
Agama dengan tema “Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan” dengan baik. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa
Keagamaan. Dengan terselesaikanya tugas ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1.
M. Badarudin, M.Pd.I Selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam.
2.
Orang tua yang telah membiayai dan memberikan dukungan
serta semangat kepada penulis.
3.
Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Sebagai
manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, penulis meminta ma’af yang
sebesar-besarnya dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan dimasa depan. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.
Metro,
27 November 2013
Ahmad
Syaifudin Zuhri
Npm.
1282021
DAFTAR ISI
Halaman
COVER
........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A.
Latar Belakang ................................................................................. 1
B.Rumusan
Masalah................................................................................... 2
C.
Tujuan Pembahasan ......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
A.
Pendidikan Agama dalam Pendidikan Islam....................................... 3
B. Pendidikan Keluarga............................................................................... 4
C.
Pendidikan Kelembagaan.................................................................. 6
D.
Pendidikan di Masyarakat................................................................. 8
E. Agama dan Masalah Sosial..................................................................... 10
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 12
A.Kesimpulan............................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga beberapa faktor akan
turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya seseorang akan
tercipta dari beberapa faktor pendidikan yang di dapatinya. WH. Clarck
mengemukakan bahwa bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya,
namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Disini
mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang tersebut memerlukan sarana
untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat dalam mencapai
hal tersebut. Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan islam tentu menjadi
sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat.
Ali Ashraf
mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam seharusnya bertujuan menimbulkan
pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan
spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia.
Karena itu pendidikan seharusnya membukakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam
segala aspek spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik,
baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk
mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim adalah
perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat
dan kemanusiaan pada umumnya.
Meskpun para
ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal usul jiwa keagamaan pada
manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan
rasa dan sikap keberagaman pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai,
memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seseorang
anak. Kemudian melalui pendidikan pulalah dilakukan pembentukan keagamaan
tersebut. Dalam pembahasan inilah akan dijelaskan macam-macam pendidikan yang
mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa keagamaan, yang diantaranya ialah; pendidikan
keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan dimasyarakat. Karena mengingat
pentingnya pendidiakkan dalam membentuk jiwa keagamaan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat
ditarik beberapa rumusan masalah yang akam memjadi pembahasan dalam makalah in,
diantaranya sebagai berikut:
1.
apa pengertian pendidikan agama dalam pendidikan islam?
2.
apa pengaruh pendidikan keluarga terhadap jiwa keagamaan?
3.
apa pengaruh pendidikan kelembagaan terhadap jiwa keagamaan?
4.
apa pengaruh pendidikan dimasayarakat terhadap jiwa
keagamaan?
5.
apa pengaruh pendidikan agama dan masalah sosial?
C. Tujuan Pembahasan
Dari beberapa
rumusan masalah diatas dapat diperoleh beberapa tujuan yang akan dicapai,
diantaranya sebagai berikut:
1.
ingin mengetahui pendidikan agama dalam pendidikan islam.
2.
ingin mengetahui pengaruh pendidikan kluarga terhadap jiwa
keagamaan.
3.
ingin mengetahui pengaruh pendidikan kelembagaan terhadap
jiwa keagamaan.
4.
ingin mengetahui pengaruh pendidikan dimasayarakat terhadap
jiwa keagamaan.
5.
ingin mengetahui pengaruh pendidikan agama dan masalah sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Agama dalam Pendidikan Islam
Menurut Jalaluddin,
Jiwa agama biasa juga disebut dengan psikologi agama. Sedangkan secara umum
psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang
normal, dewasa dan beradab.
Sedangkan
menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk
ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Selanjutnya, agama juga
menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama
sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Akan
tetapi Harun Nasutiaon mengemukankan pendapat tentanf pengertian agama, yaitu
undang-undang atau hukum. Dengan demikian psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah
Daradjat. Adalah mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya
terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya.
Pendidikan
menurut Ki Hajar Dewantara “pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan
perkembangan budi pekerti” (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani
anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan
masyarakatnya.
Perkembangan
kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi dalam diri
seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan
proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam,
tentu akan mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini
perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Menurut
Quraish Shihab, tujuan pendidikan al Qur`an (Islam) adalah membina manusia
secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba
dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan
Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh al Qur`an,
untuk bertaqwa kepada-Nya.Dengan demikian pendidikan harus mampu membina,
mengarahkan dan melatih potensi jasmani, jiwa, akal dan fisik manusia seoptimal
mungkin agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Pendidikan
agama memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh karena
itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan
umat islam kepada perkembangan rasa agama. Umat islam akan lebih memahami dan
terinternalisasi esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan;
rasa bertuhan ini meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa
atas dirinya dan alam semesta, ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa
dekat, rasa rindu, rasa kagum dan lain-lain. Kedua yaitu rasa taat; rasa taat
ini meliputi ada rasa ingin mengarahkan diri pada kehendak-Nya dan ada rasa
ingin mengikuti aturan-aturan-Nya.
Pendidikan
agama adalah bentuk pendidikan nilai, karena itu maksimal dan tidaknya
pendidikan agama tergantung dari faktor yang dapat memotivasi untuk memahami
nilai agama. Semakin suasana pendidikan agama membuat betah maka perkembangan
jiwa keagamaan akan dapat tumbuh dengan optimal. Jiwa keagamaan ini akan tumbuh
bersama dengan suasana lingkungan sekitarnya. Apabila jiwa keagamaan telah
tumbuh maka akan terbentuk sikap keagamaan yang termanifestasikan dalam
kehidupan sehari-harinya.
B.
Pendidikan Keluarga
Anak-anak
sejak masa sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak
mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki
anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun
tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerirna pengaruh dan pendidikan
dari lingkunan keluarga.
Menurut W.H.
Clark Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia
dibekali oleh berhagai kemampuan yang bersifat bawaan. Di sini terlihat adanya
dua aspek yang kontradiktif . Di satu pihak bayi berada dalam kondisi tanpa
daya sedangkan di pihak lain bayi memiliki kemampuan untuk berkembang
(eksploratif). Tetapi menurut Walter Houston Clark, perkembangan bayi tak
mungkin dapat berkembang secara normal tanpa adanya investasi dari luar, walaupun
secara alami ia memiliki potensi bawaan.
Dua ahli
psikologi anak Prancis bernama Itard dan Sanguin pernah meneliti anak-anak
asuhan serigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh
sekelompok serigala di sebuah gua. Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah
berusia kanak-kanak. Namun, kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan
yang seharusnya dimiliki oleh manusia pada usia kanak-kanak.
Tak seorang
pun di antara keduanya yang mampu mengucapkan kata-kata, kecuali suara auman
layaknya seekor serigala. Keduanya juga berjalan merangkak dan makan dengan cara
menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing
mcnyerupai taring serigala. Setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat
manusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan serigala terscbut tak dapat menyesuaikan
diri, akhirnya mati.
Contoh di atas
menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap masa
depan perkembangan seorang anak. meeskipun Manu seorang bayi manusia yang
dibekali potensi kemanusiaan, namun di lingkungan pemeliharaan serigala potensi
tersebut tidak berkembang. Bahkan, menurut W.H. Clark, para psikolog umumnya
berpendapat, bayi yang baru lahir keadaannya lebih mendekati binatang ketimbang
manusia.
Kondisi
seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan
dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat
berjalan secara baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinktif secara
utuh, sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuhnya.
Makanya, menurut W.H. Clark, bayi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu
pengawasan serta pemeliharaan yang terus-menerus sebagai latihan dasar dalam
pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinan
untuk berkembang secara wajar dalam kehidupan di masa datang.
Keluarga
menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya
adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati.
Mereka pendidik bagi anak-anaknya. Karena secara kodrat ibu dan bapak
diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri
ini, timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga
secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara,
mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan perkembangan agama menurut W. H. Clark,
berjalan dengan unsur-unsur kejiwaan
sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut
keiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui
fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlihat
di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga
kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. (W.H. Clark, 1964: 4). Dalam kaitan
itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan
pada anak. Maka, tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada
kedua orang tua.
Menurut Rasul
Allah Saw., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah
keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah
memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut
anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua
orang tua mereka.
C.
Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat
primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik
di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungan. Pendidikan secara kelembagaan
memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Dan
karena kehidupan masyarakat bersifat homogen, maka kemampuan profesional di
luar tradisi yang diwariskan secara turun-temurun tidak mungkin berkembang.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan
masyarakat.
Di masyarakat
yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin
dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya,
seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk
lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan
demikian, secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah
merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Sekolah sebagai
kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena
keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka
diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan
anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat
untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal
dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah
agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk
masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya, para orang tua yang sulit
mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah
agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat memberi
pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Memang sulit
untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan
agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para
anak. Beradasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang
pendidikan agama di likungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa
keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan
pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah
menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan
yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus
seperti pondok pesantren, seminari maupun vihara. Pendidikan keagamaan
(religious pedagogyc) sangat mempengaruhi tingkah laku ke agamaan.
Pendidikan
agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan
jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut
sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk
memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan
pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada
bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Menurut M.
Buchori Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan pembentukan
kebiasaan ini menurut Wetherington melalui dua cara. Pertama, dengan cara pengulangan dan kedua, dengan disengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga
pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang
pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan
lebih efektif. Dengan demikian, pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak
di kelembagaan pendidikan, barangkali banyak tergantung dari bagaimana
perencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah (lembaga pendidikan).
Fungsi
sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara
lain sebagai pelanjut pendidikan agama di linngkungan keluarga atau membentuk
jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam
keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya
agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.
Menurut Mc
Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung
melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses
pertama adalah adanya perhatian, kedua;
adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan.
Dengan demikian, pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan
pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga
proses itu.
Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik
perhatian peserta didik. Kedua, para
guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi
pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika
pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi
pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan
antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap
menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu
sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki
sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya.
Kedua ciri ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.
D.
Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat
merapakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat
bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah
keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara
ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi
perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti
diketahui bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok
yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik,
psikis, moral, dan spiritual. Makanya, menurut Wetherington, untuk mencapai
tujuan itu perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalarn
mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1)
fakta-fakta asuhan
2)
alat-alatnya
3)
regularitas
4)
perlindungan, dan
5)
unsur waktu
Wetherington
memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang
diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia
mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan
sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal.
Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat
menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan psikis
(kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan
semacam itu akan lebih banyak lagi.
Selanjutnya,
karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan
terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam
pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak
mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal
ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya
berlangsung selama waktu ternentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan
berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh
masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek
kepribadiaan terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat
norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja.
Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan
pula pada oranng lain.
Dalam ruang
lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan
atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif
jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
tersebut. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalarn pembentukan jiwa
keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut
menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.
E.
Agama dan Masalah Sosial
Tumbuh dan
berkembangnya kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama
(religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus.
Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya
pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga.
Apabila dilingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama,
biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah
mengatakan : “bila anak tidak dididik oleh orang tuanya, maka ia akan dididik
oleh siang dan malam”. Maksudnya, pengaruh ingkungannya akan mengisi dan
memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan di kota-kota, terutama kota
besar, anak-anak yang kehilangan hubungan dengan orang tua cukup banyak.
Mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian
ataupun karena yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
Secara umum,
anak jalanan merupakan anak yatim. Baik karena berstatus sebagai yatim
sepenuhnya, yaitu mereka yang sudah kehiiangn orang tua atau yang teryatimkan.
Mereka yang teryatimkan ini adalah yang masih mempunyai orang tua, tetapi sudah
lepas dari hubungan dari rang tua mereka. Hidup tanpa pemeliharaan dan pengawasan
orang tua menjadikan anak jalanan berhadapan dengan kehidupan yang keras serta
terkesan "liar".
Dalam
kesehariannya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam ' kelompok sebaya atau
dalam kegiatan yang sama. Ada kelompok pengamen, pemulung, pengemis, dan
sebagainya. Mengamati lingkungan pergaulan sehari-hari serta kegiatan yang
mereka lakukan, maka kasus anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawanan
sosial, juga kerawanan alam nilai-nilai keagamaan. Selain latar belakang sosial
ekonomi, mereka ini pun tak memiliki kesempatan untuk memperoleh bimbingan keagamaan.
Bahkan, di kota-kota besar, mereka ini seakan sudah terbentuk menjadi golongan
tersendiri dalam masyarakat, yakni masyarakat rentan.
Sebagai
masyarakat rentan, golongan ini seakan berada di luar lingkaran budaya dan
tradisi masyarakat umum. Boleh dikatakan mereka empunyai “budaya” sendiri yang
terbentuk di luar kaidah nilai-niiai yang berlaku. Pola kehidupan yang
cenderung permisif (serba boleh), menjadikan anak jalanan rawan sentuhan
berbagai pengaruh buruk.
Bila konflik
agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama,
maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat tetjadi
karena kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini,
tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak
adanya nilai-nilai yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang
negatif. Dengan demikian, mereka akan mudah terprovokasi oleh berbagai isu yang
berkembang.
Meskipun anak-anak
jalanan ini sering digolongkan sebagai kelompok masyarakat yang
termarginalisasikan, namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan
pengaruh lingkungan yang membawa mereka ke dalam kehidupan yang demikian.
Semuanya menjadikan mcreka kehilangan alternatif dan kemampuan untuk menentukan
jalan hidupnya. Oleh karena itu, tanggung jawab ini terbebankan kepada
masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks
ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat brperan. Demikian pula
organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan sepenuhnya
kepada pemerintah, bagaimanapun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan
tampaknya memang memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah
sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari masalah keagamaan. Sebagai aplikasi
dari kesadaran agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
agama dalam pendidikan islam sangatlah penting sekali, sebab dengan adanya
pendidikan agama, manusia akan lebih dekat dengan Tuhan, dan keimanan mereka
akan semakin kuat.
Pendidikan
sangatlah berpengaruh terhadap jiwa keagamaan seseorang, khususnya dalam
pembentukan pribadi atau pembentukan watak. Semakin tinggi pendidikan seseorang
maka akan semakin baik tingkat kecerdasan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah
SWT. Oleh karena itu pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan sangatlah
penting untuk diketahui guna untuk menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak
didik. Diantara pengaruhnya adalah Pendidikan Keluarga, Pendidikan Kelembagaan,
dan Pendidikan di masyarakat.
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.
Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan
sehingga sulit di identifikasi secara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan,
manusia begitu rumit dan kompleksnya. Di sini terlihat hubungan antara
llingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan
masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa
keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar
terhadap norma-norma keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Deradjat,
Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta
: PT. Bulan Bintang.
Prof.
Dr. H. Jalaludin. 2009. Psikologi Agama.
Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Quraish
Shihab. 1992. Membumikan al Qur`an.
Bandung : Mizan.