Friday, December 27, 2013

Makalah Pengaruh Pendidikan terhadap Jiwa Keagamaan



PSIKOLOGI AGAMA

PENGARUH PENDIDIKAN
TERHADAP JIWA  KEAGAMAAN


Dosen Pengampu :
M. Badarudin, M.Pd.I












Di Susun Oleh :

Ahmad Syaifudin Zuhri  (1282021)
Kelas : E


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
TAHUN 2013/2014


KATA PENGANTAR


Bismillahirahmanirahim, puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Psikologi Agama dengan tema “Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa  Keagamaan” dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa  Keagamaan. Dengan terselesaikanya tugas ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      M. Badarudin, M.Pd.I Selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam.
2.      Orang tua yang telah membiayai dan memberikan dukungan serta semangat kepada penulis.
3.      Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, penulis meminta ma’af yang sebesar-besarnya dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dimasa depan. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.


                                                                                   Metro, 27 November 2013


                                                                                     Ahmad Syaifudin Zuhri
                                                                                            Npm. 1282021
                                                                                                       



DAFTAR ISI


Halaman
COVER  ........................................................................................................            i
KATA PENGANTAR ...................................................................................           ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................           iii

BAB I    PENDAHULUAN .........................................................................           1
A.           Latar Belakang .................................................................................           1
B.Rumusan Masalah...................................................................................           2
C.           Tujuan Pembahasan .........................................................................           2

BAB II   PEMBAHASAN.............................................................................           3
A.           Pendidikan Agama dalam Pendidikan Islam.......................................           3
B. Pendidikan Keluarga...............................................................................           4
C.           Pendidikan Kelembagaan..................................................................           6
D.           Pendidikan di Masyarakat.................................................................           8
E. Agama dan Masalah Sosial.....................................................................         10

BAB III PENUTUP ......................................................................................         12
A.Kesimpulan............................................................................................         12

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang

Manusia dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga beberapa faktor akan turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya seseorang akan tercipta dari beberapa faktor pendidikan yang di dapatinya. WH. Clarck mengemukakan bahwa bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat.
Ali Ashraf mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan  kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya membukakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.
Meskpun para ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal usul jiwa keagamaan pada manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap keberagaman pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai, memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seseorang anak. Kemudian melalui pendidikan pulalah dilakukan pembentukan keagamaan tersebut. Dalam pembahasan inilah akan dijelaskan macam-macam pendidikan yang mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa keagamaan, yang diantaranya ialah; pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan dimasyarakat. Karena mengingat pentingnya pendidiakkan dalam membentuk jiwa keagamaan.


B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah yang akam memjadi pembahasan dalam makalah in, diantaranya sebagai berikut:
1.      apa pengertian pendidikan agama dalam pendidikan islam?
2.      apa pengaruh pendidikan keluarga terhadap jiwa keagamaan?
3.      apa pengaruh pendidikan kelembagaan terhadap jiwa keagamaan?
4.      apa pengaruh pendidikan dimasayarakat terhadap jiwa keagamaan?
5.      apa pengaruh pendidikan agama dan masalah sosial?


C.     Tujuan Pembahasan

Dari beberapa rumusan masalah diatas dapat diperoleh beberapa tujuan yang akan dicapai, diantaranya sebagai berikut:
1.      ingin mengetahui pendidikan agama dalam pendidikan islam.
2.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan kluarga terhadap jiwa keagamaan.
3.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan kelembagaan terhadap jiwa keagamaan.
4.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan dimasayarakat terhadap jiwa keagamaan.
5.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan agama dan masalah sosial



BAB II
PEMBAHASAN


A.     Pendidikan Agama dalam Pendidikan Islam

Menurut Jalaluddin, Jiwa agama biasa juga disebut dengan psikologi agama. Sedangkan secara umum psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab.
Sedangkan menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Akan tetapi Harun Nasutiaon mengemukankan pendapat tentanf pengertian agama, yaitu undang-undang atau hukum. Dengan demikian psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Adalah mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara “pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti” (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam, tentu akan mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Menurut Quraish Shihab, tujuan pendidikan al Qur`an (Islam) adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh al Qur`an, untuk bertaqwa kepada-Nya.Dengan demikian pendidikan harus mampu membina, mengarahkan dan melatih potensi jasmani, jiwa, akal dan fisik manusia seoptimal mungkin agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Pendidikan agama memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan umat islam kepada perkembangan rasa agama. Umat islam akan lebih memahami dan terinternalisasi esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan; rasa bertuhan ini meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas dirinya dan alam semesta, ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa dekat, rasa rindu, rasa kagum dan lain-lain. Kedua yaitu rasa taat; rasa taat ini meliputi ada rasa ingin mengarahkan diri pada kehendak-Nya dan ada rasa ingin mengikuti aturan-aturan-Nya.
Pendidikan agama adalah bentuk pendidikan nilai, karena itu maksimal dan tidaknya pendidikan agama tergantung dari faktor yang dapat memotivasi untuk memahami nilai agama. Semakin suasana pendidikan agama membuat betah maka perkembangan jiwa keagamaan akan dapat tumbuh dengan optimal. Jiwa keagamaan ini akan tumbuh bersama dengan suasana lingkungan sekitarnya. Apabila jiwa keagamaan telah tumbuh maka akan terbentuk sikap keagamaan yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya.


B.     Pendidikan Keluarga

Anak-anak sejak masa sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerirna pengaruh dan pendi­dikan dari lingkunan keluarga.
Menurut W.H. Clark Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berhagai kemampuan yang bersifat bawaan. Di sini terlihat adanya dua aspek yang kontradiktif . Di satu pihak bayi berada dalam kondisi tanpa daya sedangkan di pihak lain bayi memiliki kemampuan untuk berkembang (eksploratif). Tetapi menurut Walter Houston Clark, perkembangan bayi tak mungkin dapat berkembang secara normal tanpa adanya investasi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan.
Dua ahli psikologi anak Prancis bernama Itard dan Sanguin pernah meneliti anak-anak asuhan serigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh sekelompok serigala di sebuah gua. Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah berusia kanak-kanak. Namun, kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh manusia pada usia kanak-kanak.
Tak seorang pun di antara keduanya yang mampu mengucapkan kata-kata, kecuali suara auman layaknya seekor serigala. Keduanya juga berjalan merangkak dan makan dengan cara menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing mcnyerupai taring serigala. Setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat manusia, ter­nyata kedua anak-anak hasil asuhan serigala terscbut tak dapat menyesu­aikan diri, akhirnya mati.
Contoh di atas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun            pembentukan kebiasaan terhadap masa depan perkembangan seorang anak. meeskipun Manu seorang bayi manusia yang dibekali potensi kemanusiaan, namun di lingkungan pemeliharaan serigala potensi tersebut tidak berkembang. Bahkan, me­nurut W.H. Clark, para psikolog umumnya berpendapat, bayi yang baru lahir keadaannya lebih mendekati binatang ketimbang manusia.
Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan secara baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinktif secara utuh, sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepe­nuhnya. Makanya, menurut W.H. Clark, bayi memerlukan persyaratan­-persyaratan tertentu pengawasan serta pemeliharaan yang terus-menerus sebagai latihan dasar dalam pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinan untuk berkembang secara wajar dalam kehidupan di masa datang.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak­-anaknya. Karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pemben­tukan jiwa keagamaan   perkembangan agama menurut W. H. Clark, berjalan dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut keiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlihat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. (W.H. Clark, 1964: 4). Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka, tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.
Menurut Rasul Allah Saw., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk bera­gama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.

           
C.     Pendidikan Kelembagaan

Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungan. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Dan karena kehidupan masyarakat bersifat homogen, maka kemampuan profesional di luar tradisi yang diwariskan secara turun-temurun tidak mungkin berkem­bang. Oleh karena itu, lembaga pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Di masyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang memer­lukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepenting­an dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolah-­sekolah umum. Atau sebaliknya, para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat mem­beri pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai sebe­rapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak. Beradasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang pendidikan agama di likungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjuk­kan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren, seminari maupun vihara. Pendidikan keagamaan (religious pedagogyc) sangat mempengaruhi tingkah laku ke agamaan.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Menurut M. Buchori Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington melalui dua cara. Pertama, dengan cara pengulangan dan kedua, dengan disengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan meng­gunakan cara yang pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif. Dengan demikian, pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak di kelembagaan pendidikan, barangkali banyak tergantung dari bagaimana perencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah (lembaga pendidikan).
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keaga­maan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di linngkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.
Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian, kedua; adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan. Dengan demikian, pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu.
Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pema­haman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergan­tung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.


D.    Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merapakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pen­didik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahui bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik, psikis, moral, dan spiritual. Makanya, menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalarn mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1)      fakta-fakta asuhan
2)      alat-alatnya
3)      regula­ritas
4)      perlindungan, dan
5)      unsur waktu
Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang dibe­rikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil pene­litian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disang­kal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam per­tumbuhan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi.
Selanjutnya, karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus ber­langsung secara teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu ternentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula ter­lihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadiaan terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada oranng lain.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalarn pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.


E.     Agama dan Masalah Sosial

Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious cons­ciousness) dan pengalaman agama (religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila dilingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah mengatakan : “bila anak tidak dididik oleh orang tuanya, maka ia akan dididik oleh siang dan malam”. Maksudnya, pengaruh ingkungannya akan mengisi dan memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan di kota-kota, terutama kota besar, anak-anak yang kehilangan hubungan dengan orang tua cukup banyak. Mungkin dikarena­kan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karena yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
Secara umum, anak jalanan merupakan anak yatim. Baik karena berstatus sebagai yatim sepenuhnya, yaitu mereka yang sudah kehiiang­n orang tua atau yang teryatimkan. Mereka yang teryatimkan ini adalah yang masih mempunyai orang tua, tetapi sudah lepas dari hubungan dari rang tua mereka. Hidup tanpa pemeliharaan dan pengawasan orang tua menjadikan anak jalanan berhadapan dengan kehidupan yang keras serta terkesan "liar".
Dalam kesehariannya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam ' kelompok sebaya atau dalam kegiatan yang sama. Ada kelompok pe­ngamen, pemulung, pengemis, dan sebagainya. Mengamati lingkungan pergaulan sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial, juga kerawanan alam nilai-nilai keagamaan. Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka ini pun tak memiliki kesempatan untuk memperoleh bimbingan ke­agamaan. Bahkan, di kota-kota besar, mereka ini seakan sudah terbentuk menjadi golongan tersendiri dalam masyarakat, yakni masyarakat rentan.
Sebagai masyarakat rentan, golongan ini seakan berada di luar lingk­aran budaya dan tradisi masyarakat umum. Boleh dikatakan mereka empunyai “budaya” sendiri yang terbentuk di luar kaidah nilai-niiai yang berlaku. Pola kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh), menjadikan anak jalanan rawan sentuhan berbagai pengaruh buruk.
Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat tetjadi karena kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini, tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif. Dengan demikian, mereka akan mudah terprovokasi oleh berbagai isu yang berkembang.
Meskipun anak-anak jalanan ini sering digolongkan sebagai kelom­pok masyarakat yang termarginalisasikan, namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan pengaruh lingkungan yang membawa mereka ke dalam kehidupan yang demikian. Semuanya menjadikan mcreka kehilangan alternatif dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Oleh karena itu, tanggung jawab ini terbebankan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat brperan. Demikian pula organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, bagaimanapun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari masalah keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.


BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan

Pendidikan agama dalam pendidikan islam sangatlah penting sekali, sebab dengan adanya pendidikan agama, manusia akan lebih dekat dengan Tuhan, dan keimanan mereka akan semakin kuat.
Pendidikan sangatlah  berpengaruh terhadap jiwa keagamaan seseorang, khususnya dalam pembentukan pribadi atau pembentukan watak. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik tingkat kecerdasan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan sangatlah penting untuk diketahui guna untuk menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak didik. Diantara pengaruhnya adalah Pendidikan Keluarga, Pendidikan Kelembagaan, dan Pendidikan di masyarakat.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit di identifikasi secara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya. Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan.


DAFTAR PUSTAKA


Deradjat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Bulan Bintang.

Prof. Dr. H. Jalaludin. 2009. Psikologi Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Quraish Shihab. 1992. Membumikan al Qur`an. Bandung : Mizan.